Breaking

Sabtu, 13 Februari 2016

Anak Yang Berbakti Kepada Orang Tua



وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (١٤) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (١٥)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan meyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan bergaulah dengan keduanya di dunia dengan baik, dan ikulah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang kamu kerjakan” (QS. Luqman 14-15)

Menurut Imam Jalalain dalam Tafsir Jalalain ayat 14-15 ini merupakan kalimat sisipan (jumlah I’tirad) dari keseluruhan ayat yang membuat nasihat Luqman kepada anaknya, yakni dari ayat 12 sampai 19. Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasysyaf Juz III hal 479 mengatakan bahwa kedua ayat tersebut menurut suatu riwayat diturunkan terhadap kasus sahabat Sa’ad bin Abi Waqash ra., dan ibunya. 

Dikisahkan ibunya mogok makan dan minum selama tiga hari memprotes keislamanan anaknya. Tetapi Saad menanggapi aksi ibunya dengan tegas : “Seandainya dia mempunyai 70 nyawa dan keluar satu per satu -mati lantaran mogok makan-, saya tak akan kembali kepada kekufuran”. Imam Az Zamakhsyari juga mengatakan bahwa dua ayat tersebut merupakan kalimat sisipan. 

Sedangkan Ibnu Abbas dalam Tafsir Tanwirul Miqbas hal 255. menafsirkan lafazh ‘al insan’ yang menjadi obyek wasiat atau perintah Allah itu dengan Sa’ad bin Abi Waqash ra. meskipun demikian tidak berarti wasiat Allah Swt tersebut untuk Sa’ad saja, melainkan bagi siapa saja di antara manusia, khususnya mereka yang menghadapi fakta seperti Sa’ad bin Abi Waqash tersebut.

Bersyukur

Imam Jalalain, Syaikh An Nawawi Al Jawi, Ibnu Abbas ra. dalam tafsirnya masing-masing mengatakan bahwa dalam ayat : “wawashainal insaana biwaalidaihi” Allah Swt berpesan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Menurut Imam Az Zamakhsyari, perintah bersyukur inilah yang menjadi tafsir dari pesan Allah Swt di atas.

Syaikh An Nawawi Al Jawi dalam Tafsir Al Munir Juz II/171 menyebut bahwa syukur kepada Allah dalam ayat “anisykur lii” adalah dengan melakukan perbuatan ketaatan kepadaNya. Syukur kepada Allah Swt layak dan harus dilakukan manusia kepadaNya lantaran Allah Swt adalah Pemberi Nikmat Sejati yang telah menganugerahkan seluruh kenikmatan kepada manusia. Ibnu Abbas ra. menyebut syukur kepada Allah dengan mentauhidkannya alias tidak mempersekutukanNya dengan sesuatupun dan senantiasa taat kepadaNya.

Sedangkan syukur kepada kedua orang tua dalam ayat “wawaalidaik” wajib kita lakukan lantaran tanpa mereka kita tak bakalan ada. Syukur kepada kedua orang tua dapat kita lakukan diantaranya dengan merawat mereka, menafkahi mereka, memperhatikan mereka, terutama saat mereka tua. Adalah tindakan tercela dan durhaka malah kalau kita mengirimkan orang tua ke panti jompo. Na’udzubillahi min dzalik.

Syaikh An Nawawi mengutip ucapan Sufyan bin Uyainah, seorang ulama mufassir di kalangan tabi’in, sebagai berikut : “Siapa saja yang melaksanakan shalat lima waktu, berati dia telah bersyukur kepada Allah Swt. Dan siapa saja yang selepas shalat lima waktu selalu berdo’a untuk kedua orang tuanya, berarti dia telah bersyukur kepada keduanya”. 

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim Juz III/445 menyebutkan bahwa manusia hendaknya senantiasa mengingat jasa-jasa baik kedua orang tuanya, khususnya ibu yang selain susah payah dalam mengandung anaknya selama kurang lebih sembilan bulan, juga bersusah payah siang malam dalam memelihara, mengasuh dan mendidiknya. Termasuk dalam berbakti kepada orang tua adalah mengingat keduanya dalam do’a, sebagaimana dalam firman Allah : “Dan ucapkanlah : Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil” (QS. Al Isra 24)

Az Zamakhsyari mengemukakan suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya yang berkata : “Aku bertanya : Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbuat baik? Rasulullah Saw. Menjawab: “Ibumu, lalu ibumu, lalu ibumu, lau ayahmu …!”

Silaturahmi Dengan Orang Tua

Bersahabat dan bersilaturahmi dengan kedua orang tua merupakan perkara yang tidak boleh kia sepelekan. Bahkan tak boleh diputuskan meskipun kedua orang tua kafir dan menyuruh kepada kekafiran. Ayat 15 secara gamblang mengatakan bahwa jika kedua orang tua -yang kafir atau musyrik- memaksamu menyembah sesuatu yang engkau tak ada ilmu tentangnya, maka janganlah engkau taati keduanya, namun tetaplah bergaul dan bersahabat dengan keduanya dalam urusan keduniaan secara baik. 

Kata “ma’rufan” dalam kalimat “wa shahibhuma ma’ruufan” menurut Az Zamakhsyari maksudnya adalah“shahaaban au mushaahaban ma’rufan hasanan”, yakni bergaul atau bersahabat baik dengan budi pekerti yang baik, lembut, dan senantiasa mempertahankan hubungan silaturahmi.

Az Zamakhsyari menafsirkan lafazh “ma laisa laka bihi ilm”, dalam larangan syirik dalam ayat tersebut sebagai larangan menserikatkan Allah dengan sesuatu yang tidak ada apa-apanya (ma laisa bisyai’), yakni berhala-berhala. Sedangkan Ibnu Abbas ra menafsirkan : Jika keduanya memaksamu untuk menserikatkan aku dengan sesuatu yang engkau tak punya pengetahuan tentangnya “bahwa sesuatu itu adalah sekutuKu, maka janganlah engkau taati keduanya dalam perbuatan syirik itu.

Imam Ibnu Katsir mengutip sebuah riwayat Imam At Thabrani dari Sa’ad bin Malik (Abi Waqash) yang mengatakan bahwa ayat 15 tersebut turun mengenai dirinya. Ia mengatakan : “Dulu aku adalah seorang yang sangat baik (berbakti) kepad ibuku. Ketika aku masuk Islam, beliau berkata: Hai Sa’ad, apa yang terjadi ada dirimu? Ayo, engkau tinggalkan agamamu itu atau aku tidak makan dan tidak minum hingga mati lalu engkau akan dipanggil : Hai pembunuh ibumu! Lalu aku mengatakan kepadanya : Janganlah engkau lakukan, wahai ibu. Karena aku tidak akan meningalkan agamaku ini lantaran apapun. Maka ibuku mogok seperti itu hinga tiga hari. Pada hari ketiga kukatakan padanya : Wahai ibu, ketahuilah, demi Allah, andaipun ibu mempunyai seratus nyawa lalu keluar satu per satu -mati lantaran mogok (makan) tersebut- aku tak akan meninggalkan agamaku karena sesuatu pun. Jika ibu mau, makanlah. Jika tidak, ya sudah. Lalu ibuku makan”.

Dengan demikian ayat tersebut jelas melarang seorang muslim mengikuti tindakan syirik kedua orang tuanya, meskipun tetap harus mempertahankan hubungan baiknya dengan mereka. Secara praktis hal itu dapat kita lihat dalam hadits yang diriwayatkan Asma binti Abu Bakar ra. yang berkata : “Ibuku yang masih dalam keadaan musyrik datang kepadaku di masa perjanjian damai orang-orang Quraisy, yaitu ketika mereka mengadakan perjanjian perdamaian dengan Rasulullah Saw dan ayahnya (Abu Bakar ra.). Aku meminta saran kepada Nabi Saw lalu aku bertanya : “Sesungguhnya ibuku datang memerlukan sesuatu, bolehkan aku menolongnya?”. Nabi Saw menjawab : “ya, tolonglah ibumu” (HR. As Syaikhan)

Jadi silaturahmi dan berbakti kepada orang tua, tidak ada putus-putusnya bagi seorang anak hingga ia sendiri meninggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar